Pencarian hakekat adalah potensi tertinggi manusia. Pada sisi sebaliknya, kondisi falilbilis (fallibilism) adalah nasib antropologisnya.
Ada yang belum tiba, yaitu sebagai kerinduan eskatologis, ia menuntun seseorang memelihara harapan. Agama dan ideologi, terutama, adalah janji-janji pada mereka yang sedang mencari. Heidegger, filsuf eksistensialis menyebutnya “the ontology of the not yet”. Sesuatu “yang belum” memang menuntun harapan. Pada kondisi antropologis ini sekaligus bermukim potensi kesalahan (falibilitas). Karl Popper memanfaatkan potensi ini untuk menerangkan bahaya dari politik pencarian kebenaran. Absolutisme adalah ujung dari proyek itu. Karena itu, kebenaran harus selalu dianggap sebagai kondisi sementara.
“Higher than actuallity, stands possibilities”. Filsafat Heidegger dan Popper memberi petunjuk untuk menghindar dari politik eskatologi. Demokrasi adalah cara mengelola perbedaan. Kompetisi dan sirkulasi elit memungkinkan “yang belum” /the not yet” tiba untuk diuji. Itulah prasyarat menghindar dari absolutisme. Suatu posisi oposisi.
Kita menyambut Paus Franciscus dalam kondisi antropologis itu. Bahwa kemajemukan adalah kode sosial kemanusiaan. Dalam konteks itu kita pahami filosofi Franciscus yang berarti “free spirit”. Nama beliau sekaligis interpretasi terhadap teologi sosialnya yang pluralistik, sosialistis, ekologis. Beliau tidak mengambil sikap absolutis dalam isu-isu privat kontroversil (pilihan iman, orientasi seksual, misalnya). Tetapi dalam soal keadilan sosial, ia tegas menolak eksploitasi kapitalistik.
Kehendak penyempurnaan diri adalah tujuan pemeluk agama. Kehendak yang sama, tapi dalam dimensi bernegara, dimungkinkan juga melalui kebijakan politik. Tentu kehadiran Paus Franciscus bisa kita rumuskan dalam konteks negeri ini hari ini:
Pertama: Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah penghormatan terhadap pilihan bebas individu, dalam tanggungjawabnya sebagai mahluk falibilis.
Kedua: Keadilan sosial, adalah satu-satunya alasan kita menyelenggarakan negara.