Perilaku dapat direkayasa. Misalnya untuk membentuk “manusia unggul”, Hitler memaksakan proyek kriminal “eugenics”. Penjara Nazi sekaligus jadi laboratorium untuk mengukur daya tahan tubuh terhadap siksaan dan batas psikologi dari penderitaan. Teknologi (teknik dan ilmu kimia) digunakan untuk tujuan politik demagogi: “pemurnian ras”. Tapi sejarah kemudian menyebutnya “pemusnahan manusia“ (genosida)
Di era ini, perilaku di rekayasa melalui “big data”. Kita mengirim gaya hidup melalui media sosial, lalu kecerdasan buatan (AI) menyampaikannya kepada para produsen kebudayaan, dan dikembalikan dalam bentuk “mass production” kepada konsumen.
Melalui teknologi komunikasi massa, selera diseragamkan, kesadaran dipalsukan. Noam Chomsky, kritikus kebudayaan, menyebutnya “manufactured conscent”.
Kajian psikologi memahaminya sebagai karakter dasar mahluk hidup: ikut saja arus besar (“imitate the majority”). Pop culture diproduksi dalam motif itu. Juga politik, melalui penggiringan opini. Di sini pesimisme dimulai: apalagi yang tersisa pada individu bila algoritma kebudayaan sudah mengarahkan pilihan hidup?
Generasi selalu tumbuh dalam dilema itu. Menyaksikan lalu-lalang peristiwa yang bukan produksi mereka atau ikut membuat sejarah untuk mereka kenang nanti di masa depan.
Bagi kaum pesimis, harapan masih tersisa bahwa hidup adalah menemukan yang masih mungkin: “the art of the possible”. Tapi bagi mereka yang berkehendak eksistensial, hidup adalah menerobos, “attacking the impossible”