Memaknai Makna

Yang tersaji tidak selalu sama dengan yang termakna. Jarak waktu dan psikologi persepsi memungkinkan makna berkembang di luar teks. Konsekwensinya adalah pertengkaran kepentingan dalam pemaknaan. Pasal hukum, bait puisi, pidato politik, bahkan doa dapat tergelincir di luar teks. Membawa kembali makna ke dalam teks, itulah pekerjaan hermeneutika. Kita mencari isi pikiran asali saat makna itu pertama bermukim di dalam teks.

Paul Ricoeur, filsuf peneliti bidang ini, menyebut metode ini “hermeneutics of faith”. Makna diinterpretasikan mengikuti maksud dari teks.

Tapi bagaimana memaknai ideologi dalam era “post-truth”. Yaitu ketika keinginan untuk memberi makna melampui prosedur-prosedur metodologi.

Disitulah kepercayaan (yang sering membabi buta) meminggirkan kebenaran.

Sahut-menyahut di ruang publik berlangsung tanpa koordinasi metodologi. Hasil survei opini dipaparkan kasar sebagai kebenaran. Klaim kebenaran (truth claim) disembunyikan dalam narasi “suara mayoritas” atau “demi keutuhan bersama”. Di situ, makna tenggelam dalam demagogi.

Tipe kedua dari hermeneutika Ricoeur diberi nama “hermeneutics of suspicion”. Intinya, praktek naratif harus dicurigai menyimpan hegemoni makna. Di situ kekuasaan diselundupkan melalui berbagai kurikulum politik, misalnya “bonus demografi”, atau “generasi emas”.

Slogan menguasai wacana publik hari-hari ini. Dalam urusan keadlian sosial misalnya, ongkos ekologi dari percepatan akumulasi kapital, justru diabaikan. Padahal ongkos ekologi itu adalah hutang masakini untuk ditagihkan pada generasi masa depan.

“Hermeneutics of suspicion” membantu kita menemukan persembunyian ideologis dalam narasi-narasi sloganistis itu.

rocky@tumbuhinstitute.org

Let's get in touch

Fill in your information and we will contact you shortly

Facebook
X (Twitter)
YouTube
Instagram
Tiktok