Imaji soal politik yang guyub rukun adalah virus yang menggerogoti. Namun kondisi hari ini telah membuat kita tidak lengah atas bahayanya. Seakan mengiyakan narasi bahwa; meneguknya atau tidak, kita akan hancur juga. Akibatnya, kehadirannya diurus setengah-setengah. Tidak ada yang berhasil mengejawantahkan narasi dan jawaban jelas mengapa visi politik seperti itu dibutuhkan—atau mungkin memang kita tidak benar-benar membutuhkannya.
Belakangan, visi guyub rukun ini diasosiasikan dengan langkah-langkah Presiden Prabowo. Sebab, komposisi kabinetnya yang banyak diisi oleh mantan lawan politik, gestur memeluk saingan politik saat pelantikan dirinya, sampai momen menjamu makan malam Presiden Ke-7 RI, yang membuat banyak orang menganggap tindak tanduknya jauh dari watak politik balas dendam. Namun, yang jadi persoalan adalah apa yang membuat hal ini menjadi indah bagi sebagian orang? Dan apa hanya hal-hal seremonial seperti ini yang membuat masyarakat kita bahagia? Saya rasa tidak. Orang-orang yang meromantisasi hal ini telah lupa bahwa demokrasi dan politik kita telah kehilangan banyak hal karena hal-hal semacam itu. Demokrasi kita hari ini tidak butuh kebahagian semacam itu. Satu hal yang benar-benar kita butuhkan adalah pertarungan ide yang direproduksi secara terus menerus di tubuh politik kita.
Lagipula apa artinya makan malam presiden lintas angkatan, jika pada akhirnya yang melihat justru keluarga miskin lintas rezim?
Politik dan Pertarungan
Politik adalah medan pertarungan gagasan. Ia terlahir dalam dimensi antagonisme yang tak terhindarkan dalam hubungan antarmanusia, sebuah pergulatan ide, yang pada akhirnya memanifestasikan dirinya secara politis dalam konstruksi gagasan tentang kawan dan lawan yang nantinya dipisahkan oleh jurang besar ideologi. Dalam medan pertarungan inilah nantinya kecerdasan dan kepentingan publik tidak hanya sekedar diucapkan namun juga diperjuangkan. Dalam medan politik ini, fungsi ideologi tidak terbatas sebagai kompas moral dan intelektual, namun juga memastikan bahwa tidak ada kesepakatan politik mendahului kepentingan publik.
Namun inilah yang hilang dalam dinamika politik kita hari-hari ini. Aktor-aktornya kini menapaki semak belukar politik tidak dengan pisau dan pedang ideologi, tapi dengan jabat tangan tanda jadi. Partai, koalisi, dan aktor-aktor di dalamnya tidak tertarik lagi untuk sebuah pertarungan ideologi—perjuangan ide dan semacamnya. Mereka cenderung menghindar karena takut dipandang tidak sesuai dengan jati diri bangsa—yang sejatinya jauh dari kata jelas, atau mungkin karena adanya kepentingan yang sifatnya jauh lebih pragmatis. Alhasil taktik politik yang ditawarkan hari ini menjauhi segala prinsip ideologis, namun cukup dekat dengan bentuk kooptasi dan integrasi sistem yang ada. Demikianlah potret politik kita hari ini, politik yang aktornya lebih nyaman untuk bersepakat satu sama lain, daripada saling tunjuk di atas meja debat. Mereka lebih senang untuk bermain dalam ranah seremonial daripada terlibat dalam pertempuran ideologi yang sesungguhnya. Ini adalah banalitas yang sangat spesifik dari politik Indonesia akhir-akhir ini.
Memang, dalam beberapa dekade terakhir hiruk pikuk politik kita telah kehilangan dimensi pertarungan ini sebagai porosnya, politik kita telah terdegradasi menjadi pasar, di dalamnya hanya ada transaksi, tidak ada gagasan dan perjuangan ideologis. Dalam cengkraman kondisi politik seperti ini, kecerdasan publik, dan segala bentuk pertarungan gagasan, konsisten tergantikan oleh pragmatisme politik yang sering kali hanya menguntungkan segelintir elite.
Alih-alih melahirkan tokoh-tokoh yang memiliki ide terbarukan, kondisi ini hanya akan mengantarkan individu-individu yang sekedar paham tata kelola administrasi pemerintahan, tanpa kualifikasi akademis ke atas permukaan politik. Mediokrasi yang imanen. Sistem politik—atau jika anda mau demokrasi, yang semestinya diisi oleh hasil rasionalisasi kepentingan publik, mau tidak mau akhirnya dipenuhi seremonial yang tujuan akhirnya hanya sebatas untuk memberi citra bagus atas kondisi dunia persilatan politik kita, meskipun sejatinya dirinya hancur seperti kapal pecah.
Padahal esensi dari dinamika politik sesungguhnya terletak pada pertanyaan permanen terhadap ide dan gagasan dominan. Ini bukan sekadar reduksi sederhana menuju perdebatan publik, melainkan untuk terus menghadirkan penantang yang mampu secara konstan mengartikulasikan hegemoni, visi, dan kecerdasan publik yang baru. Di sisi lain, ini juga bisa menjadi jalan keluar untuk membumihanguskan visi dan imaji tentang arkhe politik Indonesia, yang sudah lama digerogoti narasi guyub rukun berpolitik.
Visi Alternatif
Kita sama-sama tahu bahwa pemberdayaan demos dalam demokrasi kita pasca 98 hanya melahirkan gagasan masyarakat madani yang cenderung berjalan di tempat. Embel-embel kekuasan tandingan kelimpungan ketika harus menghadapi mesin-mesin partai yang daya gedornya jauh lebih kuat.
Kegagalan ini adalah potret betapa kuatnya kekuatan yang mempertahankan status quo sistem politik kita. Kekuatan ini telah berhasil membuat struktur atau wadah yang mampu menampung dan mengartikulasikan aspirasi rakyat secara terorganisasi berjalan di tempat. Chamber of power, atau ruang-ruang kekuasaan alternatif yang diharapkan mampu menjadi katalisator bagi perubahan, sengaja diredam oleh akal-akalan para pesolek status quo. Akibatnya, demokrasi kita cenderung elitis, kekuasaan hanya berputar di kalangan elite politik dan ekonomi tanpa banyak melibatkan suara rakyat secara substansial.
Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan visi yang sifatnya alternatif yang mampu menahan palu godam milik para elitis yang sudah lama jadi jawara di arena politik formal. Sebuah visi saat politik tidak dipikirkan semata-mata sebagai sebuah perebutan kekuasaan—baik lewat perwakilan maupun semacamnya, tetapi sebagai sebuah tindakan pemberontakan, pembebasan dari tatanan yang dibangun oleh kekuatan-kekuatan dominasi, dan pemberdayaan. Memikirkan visi ini berarti memikirkannya sebagai sebuah tatanan politik alternatif; sebuah dunia tandingan yang berlawanan dengan status quo, sebuah dunia yang berusaha memusuhi dan menghindari gagasan dan pola-pola lama dari apa yang telah terjadi di dalam praktik politik formal selama ini. Lebih dari sekedar mengambil alih kekuasaan yang selama berada pada mereka, visi ini memiliki tujuan yang hegemonik yaitu untuk mentransformasi cara kekuasaan dijalankan dan mendistribusikannya secara lebih inklusif, dan syarat akan tegangan.
Visi ini tidak harus dipikirkan semata-mata dalam kerangka konflik revolusioner yang syarat akan kekerasan. Dirinya juga dapat dipikirkan dalam kerangka perpindahan—yang bersifat gradual, proses di mana kita melepaskan diri secara sukarela dari pakem-pakem politik yang sudah lama menggerogoti. Dimensi alternatif ini tidak hanya menuntut keberanian untuk mendobrak status quo, tetapi untuk tujuan akhir yaitu membangun infrastruktur politik yang memungkinkan rakyat memiliki peran aktif dan berkelanjutan dalam proses pengambilan keputusan. Dengan cara ini, anti-tesis politik terbarukan akan hadir, sebuah dimensi politik yang berakar pada pencarian pembebasan, solidaritas, dan pemberdayaan.
Melampaui Jabat Tangan
Politik, dalam dimensi yang paling menegangkan, seharusnya bukanlah arena yang dipenuhi oleh kompromi semu atau rekonsiliasi yang syarat akan romantisme cengeng yang dihasilkan oleh proses ramah tamah yang cetek. Sejatinya politik kita tidak akan ke mana-mana dengan atau tidak adanya ritual seremonial simbolik serupa makan bersama, peluk hangat, atau ucapan selamat. Rasa haus akan momen-momen yang sejatinya dipenuhi kedok politik ini patut dianggap seperangkat alat yang didesain oleh mereka para elit agar kita tidak ramah dengan visi politik yang dipenuhi pertarungan gagasan dan ideologi. Sebuah gagasan untuk kondisi anti-oposisi.
Sekali lagi, politik adalah arena antagonistik yang membenturkan konsep “kawan” dan “lawan,” sebuah benturan yang tidak mungkin terjadi dalam adegan peluk hangat singkat, namun akan muncul dalam konfrontasi ideologis. Ramah tamah politik, dalam banyak kasus, hanyalah mekanisme untuk menghindari kemunculan ketegangan atau poros oposisi yang sejatinya menjadi poros dari dinamika politik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jacques Rancière dalam La Mésentente: Politique et Philosophie (1995), politik sejati muncul bukan dalam konsensus—juga pasti bukan dalam makan bersama, tetapi dalam perseteruan, dalam ketegangan antara antara yang sah dan yang ditindas.
Segala bentuk ramah tamah aktor politik, antara si pemenang dan yang kalah sudah sepatutnya dicurigai, dan harus dianggap sebagai upaya mencederai perjuangan. Maka dari itu, tidak ada ruang bagi senyum dan kata-kata manis dalam tindak tanduk politik; yang ada adalah pertarungan gagasan permanen, di mana para aktornya muncul di medan konfrontasi ideologi yang tak kenal kompromi. Lagipula, jika sebagian orang bisa mencurigai bahwa tidak ada kepentingan publik di dalam kotak suara, mengapa tidak sekaligus mencurigai bahwa kepentingan publik juga tidak ada di atas meja makan?
FADHLY SIBARANI
Mahasiswa Master Sociologie et Philosophie Politique – Université Paris Cité