“Tone deaf” alias tuli nada. Istilah itu kini viral. Peristiwa sosial hari ini, yaitu pameran kemewahan di tengah kemiskinan yang meluas, menyindir langsung ketakpekaan etis kalangan elite. Bukan elitisme-nya yang diprotes, melainkan ketakcukupan etis untuk memahami “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Dalam kondisi yang sama, kita diingatkan juga dengan gejala “ketakcukupan akal” kaum intelektual”. Tuli akal, boleh kita istilahkan. Bukankah menjadi tanggung jawab “kaum yang berpikir” untuk setia pada nilai-nilai universal peradaban? Keadilan, kemanusiaan dan kesetaraan adalah prinsip yang memungkinkan kritik diajukan pada kekuasaan. Potensi ketidakadilan sudah bermukim di dalam kebijakan politik.
Pendangkalan kemanusiaan jadi nyata dalam kondisi ketidakadilan itu. Dan pada akhirnya semua itu berwujud pada ketaksetaraan kedudukan warganegara. Ada yang surplus ada yang defisit, dalam segala bidang hidup.
Lalu, hari-hari ini gejala awal pulihnya akal sehat mulai nampak. Apakah karena desakan moral maka kaum intelektual hari-hari ini terlihat “kembali ke jalan yang benar”?
Apakah gelombang kesadaran etis itu datang dari energi internal mereka atau akibat dari kondisi eksternal yang memang sudah tersedia secara sosiologis?
Apakah langit sudah gerah sehingga mereka tak lagi nyaman “berumah di awan”?
Acuan klasik tentang fungsi intelektual sudah ditulis di abad lalu oleh Julien Benda, dalam nada protes: The Betrayal of The Intellectuals”.
Dalam konteks hari ini, mereka yang seharusnya memelihara wilayah pikiran telah mengabaikan fungsi itu. Terlibat dalam teknikalitas politik tanpa paradigma humanisme universal adalah gejala dasar “pengkhianatan kaum intelektual”.
Tentu tak harus membebani kaum intelektual dengan permintaan-permintaan etis yang berat, yang konsekuensinya harus dituntut secara kategoris pada etika Kantian, misalnya. Kondisi sosial-ekonomi menjadi semacam apologia untuk memahami kondisi “tuli akal” itu. Tetapi itu tak boleh permanen menjadi sikap pesimistik.
Yang harus dioptimiskan hari ini adalah terbitnya kondisi utama demokrasi, yaitu kompetisi berbasis kesetaraan kapasitas warganegara. Dan itu hanya bisa didasarkan pada kapasitas diskursif akal dan pada kondisi etis yang otonom. Tak boleh ada perintah politik untuk membatalkan keragaman aspirasi publik. Tak boleh ada bujukan sentimen untuk membatalkan politik argumen.